Liturgisabda, katekese, peran penggunaan media massa, peranan sakramen-sakramen, kontak pribadi haruslah diintegrasikan didalam sebuah media yang mampu memungkinkan proses komunikasi yang lebih efektif. 2. Katekese dan tantangan multitask. 2.1 Dalam proses katekese, ada dua unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu segi isi dan suasana. PertobatanSeorang Anak 14 Tahun. Halo nama saya Justin, saya berasal dari negara bagian Georgia (Amerika Serikat) dan saya berumur 14 tahun. Saya menuliskan kisah ini untuk berbagi cerita tentang pertobatan saya ke Gereja Katolik, yang terjadi pada usia muda saya. Pertobatan saya merupakan pengalaman yang sungguh hebat untuk diriku sendiri Menurutpengalaman saya, dan juga yang saya dapat dari retret & buku, emosi negatif yang sering muncul tiba2 itu biasanya akibat luka / pengalaman traumatik masa lalu yang, biasanya, tidak kita sadari. Terima kasih atas pencerahannya dan akan saya info kan situs ini kepada teman untuk berbagi pendalaman iman katolik. Selamat belajar dan perkembangandan pembinaan iman siswa di sekolah sebagai orang yang beriman, karena Pendidikan Agama Katolik temasuk pendidikan formal di sekolah. Oleh karena itu penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para guru PAK agar sungguh-sungguh menjalankan peranannya sebagai pembina iman di sekolah. Selain itu skripsi ini 16 Menerima kisah kelahiran Yesus . Pelajaran ini membicarakan tentang pribadi peserta didik dan pengalaman hidupnya, termasuk relasinya dengan sesama dan lingkungan hidupnya. Iman Katolik berpusat pada pribadi Yesus Kristus sebagai Juru selamat yang dipilih dan diutus oleh Allah mewartakan Kerajaan Allah. Maka menjadi Katolik berarti MUSAdan Elia adalah gambaran sukacita dalam kebersamaan di dalam kemuliaan Tuhan. Itu berarti, kemuliaan Tuhan itu tak sebatas kisah yang dikagumi. Tetapi kelak menjadi bagian dari jalan iman kita. Sebagaimana tampaklah Musa dan Elia, kita pun akan tiba dalam kemuliaan bersama Tuhan.. Baca Juga: Bacaan I, Hari Sabtu, 6 Agustus 2022, Pesta Yesus Menampakkan Kemulian-Nya (Daniel 7:9-10,13-14) Qk65XX. Pertobatan Seorang Anak 14 Tahun Kisah Justin Motes Justin Motes Halo nama saya Justin, saya berasal dari negara bagian Georgia Amerika Serikat dan saya berumur 14 tahun. Saya menuliskan kisah ini untuk berbagi cerita tentang pertobatan saya ke Gereja Katolik, yang terjadi pada usia muda saya. Pertobatan saya merupakan pengalaman yang sungguh hebat untuk diriku sendiri, begitu juga untuk keluargaku. Kedua orang tua saya tidak pernah mengira bahwa seorangpun dari anggota keluargaku akan menjadi seorang Katolik. Saya mengadiri kebaktian pertama saya ketika berumur enam tahun di gereja Baptis setempat. Nenek saya yang akan membawa saya ke kebaktian dan saya selalu duduk bersamanya. Saya mencintai sekolah Minggu dan menikmati khotbahnya. Hal yang menakjubkan untuk seorang anak berumur enam tahun untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari khotbah yang “kuno dan membosankan” seperti anak-anak lain dan para remaja katakan. Apakah saya berpikir ini adalah batu loncatan kepada pertobatan saya? Tidak. Saat saya melanjutkan kehidupan menggereja saya, saya semakin jarang mengikutinya dan semakin jarang lagi. Ketika usia saya bertambah, saya mengesampingkan Tuhan, akan tetapi saya selalu teringat pelajaran sekolah Minggu dan khotbah-khotbahnya. Saya masih mengingat dengan jelas ketika saya bermain sebuah permainan dengan sepupu-sepupu saya dan mereka akan mengatakan suatu kebohongan. Saya akan berkata, “Tuhan tidak menyukai kebohongan.” Apakah saya menggunakannya sebagai sebuah cara untuk membuat mereka memberitahukan yang sebenarnya? Ya. Apakah saya tahu bahwa hal itu memiliki arti teologis yang mendalam dari pemikiran saya? Tidak, tidak sama sekali. Sekitar ulang tahun saya yang ke-11, saya merasa sedikit bersalah karena tidak pergi ke gereja. Sehingga, saya mulai ke gereja sebulan sekali, kadang-kadang dua kali. Walaupun saya seringkali mengenyahkan perasaan itu daripada tidak sama sekali, namun saya tetap merasa sangat bersalah. Dari perasaan ingin dibanggakan yang terdalam, saya mulai pergi ke gereja setiap Minggu dan memamerkannya di sekolah, seolah-olah saya ini lebih baik daripada orang lain. Walaupun demikian, Kristus mulai semakin membentuk jiwaku, meskipun penampilan luar saya yang berupa rasa pamer. Sekarang inilah bagian yang menarik pada usia saya yang ke-12, waktu itu saya di sekolah menengah, entah bagaimana saya terlibat dalam Yudaisme agama Yahudi. Mungkin karena saat itu saya berminat mempelajari agama lain atau karena kebutuhan untuk memuaskan dahaga saya akan pengetahuan, atau mungkin saja merupakan langkah pertama dari pertobatan saya. Yudaisme benar-benar membuat saya terjebak. Saya merasakan adanya kaitan satu sama lain antara tradisi dan iman, tetapi ada sesuatu yang hilang, dan saya tahu persis apa itu Yesus. Melalui pencarian dan doa, saya menemukan satu iman, yang memenuhi kebutuhan pribadi saya yaitu Gereja Katolik. Mungkin ini adalah jalan Tuhan yang mengarahkan saya kepada Iman? Iman Katolik beresonansi membentuk suatu keharmonisan dengan saya, ternyata semua ada di situ Tradisi, Iman, Yesus dan yang penting Kebenaran itu sendiri. Eklesiologi ilmu tentang Gereja dan penjelasan doktrin Katolik oleh para apologis Katolik benar-benar mengarahkanku pada Iman. Saya terpikat. Walaupun demikian pertobatan saya tidak semudah itu, khususnya sejak saya belajar untuk studi saya di sekolah, menjalin kehidupan sosial, dan mempelajari ajaran Katolik, beberapa hal yang mudah seperti doktrin api penyucian. Nenek dan ibu saya yang menganut ajaran gereja Baptist, keduanya pecaya bahwa setelah kematian terdapat penderitaan penyucian, dan mereka mengajarkan hal itu kepada saya, sehingga saya sudah mempercayainya sebelum saya mengikuti kelas untuk menjadi Katolik. Sedangkan, hal lain berdatangan sedikit lebih sulit untuk dipercaya dibandingkan hal yang lainnya. Saya yakin hal yang paling sulit saya terima yaitu penghormatan kepada Maria dan memohon perantaraannya. Sebagai seorang Baptis, saya diajarkan dengan sangat tegas bahwa tak satupun kecuali Tuhan yang dapat mendengarkan doa-doa anda dan hanya ada satu Perantara antara Tuhan dan manusia, yaitu Yesus. Hal yang mengejutkan saya, bahwa hal itu tidak jauh berbeda dengan apa yang orang Katolik percayai. Setelah saya mendengarkan beberapa kaset oleh apologis Katolik seperti Scott Hahn, saya mengerti doktrin tersebut, dimana saya dapat menerima doktin tersebut dengan lebih murah hati. Dengan ijin dari ibu saya, saya menghadiri Misa pertama saya pada hari Selasa sebelum Minggu Palma dan menjadi kejutan besar untuk saya! Pikiran yang terlintas di benak saya adalah, siapa wanita bersama malaikat dan sesuatu seperti “kaktus” disekelilingnya Maria? Kotak apa disana Tabernakel? Mengapa ada podium di sebelah samping? Mengapa orang-orang menandai diri mereka sendiri dengan air dan berlutut ketika memasuki bangku? Ada banyak pertanyaan yang dapat saya tuliskan, tapi ini hanya beberapa saja. Ketika saya memperkenalkan diri, Imam sangat baik kepada saya sebagai pendatang baru. Untuk 12 bulan selanjutnya, saya terlibat pencarian yang terus menerus, devosi, dan kadang-kadang beberapa perdebatan-perdebatan sengit. Pada 7 April 2012, saya diterima di Gereja Katolik dan menerima Ekaristi Kudus untuk pertama kalinya. Saat itu menjadi saat terpenting dalam hidup saya setelah sekian lama. Melalui seluruh perjalanan ini, ibu dan ayah saya mendukung saya, dan saya tahu bahwa Yesus ada di sebelah saya, memimpin saya melalui kesulitan dan masalah. Terima kasih Yesus. Nama saya Justin Motes, saya tinggal di Georgia, Amerika Serikat. Saya berumur 14 tahun. Saya menyukai mempelajari agama, bermain piano, dan bergaul dengan teman-teman saya. Saya ingat untuk memilki waktu untuk berdoa dan berdevosi setiap hari, dan yang lebih penting, saya seorang Katolik oleh karena kasih karunia Tuhan. Catatan tambahan dari penerjemah Syukur kepada Allah atas kesaksian dari saudara kita, Justin Motes. Semoga kesaksian ke pangkuan Gereja Katolik ini semakin menguatkan iman kita semua, baik yang muda maupun yang sudah tua. Sehingga tidak ada kata terlambat untuk pulang. Semoga saudara kita ini senantiasa dibimbing oleh Allah Tritunggal Mahakudus dalam perjalanan hidupnya yang masih panjang. Semoga imannya bertambah kuat dan berbuah dalam karya nyata. Judul Asli My Conversion to the Catholic Church – Justin Motes diakses tanggal 5 Februari 2013, diterjemahkan oleh Arief Prilyandi. Pax et Bonum follow Indonesian Papist's Twitter KITAB SUCI +Deuterokanonika - Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju Katekismus Gereja Katolik Artikel Pengalaman Iman Ruang Kesaksian/Pengalaman iman Siapakah Diantara Kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Surat dari Jepang Kekuatan penyembuhan Ekaristi Menjamah Yesus dalam Ekaristi Yesus benar-benar bekerja saat Misa Burung Berkicau Yesus tidak pernah meninggalkanku Bebanku terlepas berkat Novena Hati Kudus Yesus Sharing Valentine Cinta Yang Tidak dapat Kuraih new Sebuah Kesaksian - Kebaikan Tuhan Iman yang Menyembuhkan Bagaimana Tuhan Memanggil Keluarga Steve Ray dari Baptis menjadi Katolik Ulangan Umum dari Milis PDRK Tuhan adalah satu-satunya tujuan Mukjijat penyembuhan dari Multiple-Sclerosis Gereja Pantekosta yang menjadi Katolik Pdt. Alex Jones Menghirup Nafas Katolik oleh David Palm Kesaksian pendeta Larry dan Joetta Lewis Kesetiaan dalam Gereja Katolik Kesaksian dari "H" Disinilah Kesudahan Dari Kemuliaan Dunia Imam-imam Jesuit yang selamat dari pusat ledakan Bom Atom di Herosima Jika Saudara-Saudara memiliki pengalaman telah mengalami Rahmat Dari Allah lbaik lewat Bapa, Putra atau Roh Kudus secara Pribadi atau anda memiliki pengalaman manis lainnya bersama Allah silahkan mengirimkan Kesaksian/Sharing anda kepada kami pada alamat email artikel untuk kemudian ditampilkan pada website sebelumnya kami akan melakukan editing, bilamana ada sharing yang kurang sesaui dengan iman katolik Tuhan Yesus Memberkati B. A. Lewis Sumber Ketika orang-orang bertanya kepada saya mengenai keputusan saya bergabung dengan Gereja Katolik, saya suka membagi pertanyaan itu menjadi dua bagian. Pertanyaan, “Kenapa Anda jadi Katolik? Dan pertanyaan lainnya, “Bagaimana Anda jadi Katolik?” Pertanyaan pertama bisa dijawab dengan satu kalimat saja Saya masuk Gereja Katolik karena saya yakin baik dalam pikiran dan hati saya bahwa Gereja Katolik itu seperti yang dinyatakan olehnya satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Tuhan kita Yesus Kristus untuk melakukan misi-Nya di dunia ini dan juga yang dibimbing oleh Roh Kudus untuk mewartakan dan mengajar kepenuhan Injil. Jawaban tentang pertanyaan “bagaimana” adalah sebuah cerita, dan hampir persis dengan tiga tahapan perubahan keyakinan yang ditulis oleh G. K. Chesterton “Pengalaman saya bahwa orang yang berpindah keyakinan biasanya melewati tiga tahapan atau keadaan pikiran. … Fase pertama adalah fase dari filsuf muda yang merasa bahwa seseorang harus berlaku adil terhadap Gereja Roma. Ia hendak melakukannya dengan adil, tapi karena melihat bahwa dia [Gereja Roma] menderita ketidakadilan. … Tahap kedua adalah di mana seseorang yang akan berpindah keyakinan mulai menyadari bukan hanya ada kepalsuan tapi juga ada kebenaran, dan ia sangat bersemangat untuk menemukan bahwa ada jauh lebih banyak yang bisa ia peroleh daripada yang ia perkirakan. … Dan tahap ketiga mungkin yang paling benar sekaligus paling mengerikan. Yaitu di mana seseorang berusaha tidak mau berubah keyakinan” The Catholic Church and Conversion, Ignatius Press, 2006, hlm. 72-77. Jika saya diperkenankan untuk meringkas masing-masing tahap itu dalam satu kata keadilan, penemuan, dan pelarian. Mulai Berlaku Adil terhadap Gereja Katolik Saya ingin mengatakan bahwa tahap pertama dimulai ketika saya membaca buku C. S. Lewis di kelas 9. Tapi sebenarnya jauh sebelum itu. Saya dibesarkan di denominasi United Methodist di Georgia, putra dari dua bersaudara “anak-anak pendeta” United Methodist. Kenyataannya, tiga dari empat kakek nenek saya adalah pelayan yang ditahbiskan di Gereja United Methodist. Jadi saya sudah dibaptis sewaktu kecil dan aktif di sekolah Minggu, menjadi anggota koor anak-anak, dan akhirnya ikut kelompok orang muda gereja. Di musim panas sebelum saya mulai masuk di sekolah menengah, saya mengikuti acara “Chrysalis Flight,” suatu acara retret pemuridan intensif selama tiga hari untuk remaja. Setelah retret itu saya berkeinginan untuk bertumbuh dalam iman, dan mengambil buku C. S. Lewis yang berjudul Mere Christianity Kekristenan Asali. Dengan membaca buku itu, hidup saya berubah. Rasanya seperti membuka pintu ke dunia yang sama sekali baru. Itulah buku pertama yang saya baca yang membuat saya berpikir serius tentang iman Kristen, yang membuat saya berpikir bukan hanya sesuatu yang baik dan benar, melainkan sebagai satu-satunya penjelasan di antara semua filsafat dan agama di dunia yang benar-benar bisa menjelaskan segala sesuatu. Buku itu pula yang mengantarkan saya ke apologetika, filsafat, dan argument rasional. Saya terpikat. Saya menyukai kedalaman sederhana dalam gaya pembawaan Lewis, kemampuannya untuk mengambil pemikiran yang kompleks dan menjelaskannya dalam bahasa sehari-hari. Saya mulai membaca setiap buku C. S. Lewis yang saya peroleh The Screwtape Letters, The Problem of Pain, kumpulan esai dan khotbahnya. Tidak diragukan lagi Lewis menjadi penulis favorit saya. Melalui tulisan Lewis, untuk pertama kali saya menemukan doktrin api penyucian. Seperti yang ditulis Lewis dalam Letters to Malcolm Jiwa kita memohonkan Api Penyucian, kan? Apakah kita tidak patah hati jika Allah berkata kepada kita, “Memang benar, anakku, bahwa bau napas dan pakaianmu meneteskan lumpur dan lender, tapi kami di sini berbelas kasih dan tidak ada orang yang akan mencelamu dengan semua hal ini. Mau masuk ke dalam sukacita?” Seharusnya kita tidak pantas menjawab, “Dengan rendah hati, tuan, dan jika tidak keberatan, perkenankan saya membersihkan diri terlebih dahulu.” “Engkau tahu, mungkin itu menyakitkan” – “Meskipun begitu, tuan.” Lewis, Letters to Malcolm, Harcourt Brace Jovanovich, 1964, hlm. 108f. Sebagai seorang Methodist, saya mempertimbangkan gagasan pembersihan sesudah kematian sebagai kesimpulan logis dari John Wesley tentang kesempurnaan Kristen. Jika Allah hendak menguduskan saya dengan kasih karunia-Nya, jika Ia akan bekerja dalam diri saya untuk membuat saya sempurna seperti Ia yang sempurna adanya, lalu apa yang terjadi jika saya mati sebelum proses itu selesai? Akankah Allah meninggalkan pekerjaan baik yang Ia mulai itu tidak selesai? Ataukah Ia hendak “menyelesaikannya” Filipi 16? Setahun setelah saya mulai membaca buku Lewis, suatu hari ayah saya datang ke kamar saya dan berkata, “Kamu tahu, Benjamin, kalau kamu sangat suka C. S. Lewis, ada penulis lain yang menurutku harus kamu baca.” Lalu ia bercerita tentang G. K. Chesterton. “Ada buku yang mirip dengan Mere Christianity, dan saya kira kita punya bukunya di lantai bawah. Saya akan carikan buat kamu.” Beberapa saat kemudian, ia kembali dan membawa buku berjudul Orthodoxy. Saya mulai membacanya dan hampir langsung menemukan pertentangan. Saya adalah penggemar setia Lewis. Ia bukan hanya penulis favorit saya, ia juga adalah cinta pertama saya dalam kesusastraan. Tapi Chesterton kelihatan sama pintar dan berwawasan luas seperti Lewis. Saya tidak suka mengakuinya, tapi mungkin saya lebih menyukai Chesterton daripada Lewis. Ketika saya selesai membaca Orthodoxy, saya sudah menyelesaikan pertentangan itu meskipun saya tetap menghargai C. S. Lewis, tapi saya punya penulis favorit baru. Kemudian saya mulai membaca setiap buku Chesterton yang bisa saya dapatkan. Semakin banyak saya membacanya, saya semakin menentang fakta bahwa Chesterton bergabung dengan Gereja Katolik sebagai orang dewasa. Dalam banyak buku sesudah perubahan keyakinannya, ia menulis banyak hal untuk membela Katolikisme yang tampaknya masuk akal bagi saya, tapi saya belum tahu banyak tentang Gereja Katolik untuk mengetahui apa yang saya pikirkan tentang semua itu. Semakin saya banyak membaca, semakin saya akui kalau saya tidak tahu banyak tentang Gereja Katolik, tapi saya ingin mempelajarinya. Di SMA, saya juga mulai membaca beberapa tulisan para Bapa Gereja dan teolog abad pertengahan. Kepala orang muda di gereja Methodist saya memulai kelompok membaca teologi bagi anak-anak SMP dan SMA. Ia menyebutnya “Dead Theologians Society Kelompok Para Teolog yang Sudah Mati.” Kita bertemu seminggu sekali untuk membaca dan mendiskusikan tulisan-tulisan seperti Pengakuan-pengakuan karya St. Agustinus, Tentang Inkarnasi karya St. Athanasius, dan beberapa bagian tulisan St. Thomas Aquinas. Kelompok itu seharusnya melanjutkan bacaannya dengan tulisan Matrin Luther, John Calvin, John Wesley, dan para teolog yang lebih baru, tapi kami tidak pernah sejauh itu karena tingkat kehadiran kelompok itu berkurang dan proyek itu ditinggalkan. Sendirian, saya membaca karya St. Anselmus. Akibatnya, karena sebagian besar awal mula bacaan teologis sudah jelas Katolik. Tidak ada yang menyuruh saya untuk berhati-hati dengan apa yang ditulis para penulis ini. Tidak ada yang memperingatkan saya kalau umat Methodist itu tidak percaya dengan apa yang dipercaya oleh Agustinus dan Aquinas. Saya hanya membaca para pemikir hebat ini, dan menemukan bahwa apa yang mereka katakan itu sangat masuk akal. Jadi, sewaktu membaca Chesterton, saya juga memperoleh pengenalan teologi Katolik yang kuat. Di SMA, pertama kali saya bertemu dengan ajaran Katolik yang disalahartikan. Saya akan memberikan dua contoh. Yang pertama terjadi waktu Sekolah Minggu, saya ikut dalam “Belajar Alkitab Pemuridan” yang mencakup sebagian besar Perjanjian Lama dan Baru dalam 34 pekan bacaan harian yang punya pertemuan mingguan untuk membahasnya. Ketika kami membaca Matius 1613-20, perikop terkenal “engkau adalah Petrus,” saya cukup tahu tentang Katolikisme yang mengacu bahwa inilah dasar dari pemikiran otoritas kepausan. Jadi saya bertanya kepada pimpinan yang sedang mengajar di kelas itu, “Mengapa kita bukan Katolik?” Kelihatan ia sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ada seorang siswa yang membuat komentar sinis tentang perilaku mengerikan para paus di zaman Renaisans. Waktu itu saya belum cukup mengerti untuk menjelaskan posisi Katolik,tapi secara naluriah saya tahu keberdosaan beberapa paus dalam sejarah itu tidak relevan dengan pertanyaan mengenai otoritas pengajaran. Infalabilitas [tidak dapat salah dalam menentukan ajaran iman dan moral] tidak sama dengan impeccabilitas [tidak bisa berdosa sama sekali.] Salah satu contoh lain mengenai penilaian yang tidak adil terhadap Katolikisme yaitu waktu saya datang ke acara festival musik Kristen dengan kelompok orang muda. Ada seorang pembicara di festival musik itu berpendapat bahwa umat Katolik bukan orang Kristen sejati, kemudian ia mengutip banyak hal, salah satunya adalah kepercayaan “takhayul” tentang komuni. Saya ingat betapa terkejutnya saya dengan ucapannya, dan saya merasa terdorong untuk membaca salah satu bukunya yang ada di tempat merchandise setelah ia selesai berbicara. Saya menemukan bahwa dalam bukunya itu banyak argument-argumen yang menentang Katolik, seperti ceramahnya itu, yang semuanya itu kelihatannya salah mengartikan posisi Katolik. Sekali lagi, waktu itu saya tidak cukup tahu menjelaskan bantahan Katolik tentang yang dikatakannya itu, tapi saya tahu kalau pendapatnya itu didasarkan pada pemahaman keliru tentang ajaran Katolik. Pengalaman-pengalaman ini, dan pengalaman lainnya memberi saya suatu perasaan yang tumbuh bahwa Gereja Katolik sering disalahpahami oleh para penentangnya. Saya belum siap menerima pernyataan Gereja Katolik, tapi saya mulai memiliki keraguan yang serius mengenai argument yang menentang pernyataan tersebut. Menemukan Gereja Katolik Waktu saya menjadi mahasiswa baru di Asbury College, sebuah perguruan tinggi seni liberal Kristen non-denominasi di Kentucky, pertanyaan di benak saya, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Pertanyaan ini belum begitu mendesak, tapi memberikan banyak pikiran, doa, dan pembelajaran. Ada tiga hal yang secara khusus membantu saya dalam menjawab pertanyaan itu di perguruan tinggi. Pertolongan besar pertama datang dalam bentuk buku. Saya sudah membaca Alkitab, Agustinus, Anselmus, C. S. Lewis, G. K. Chesterton. Tapi sekarang, berada di perguruan tinggi saya punya akses untuk membaca lebih banyak buku lagi. Selain buku pelajaran dan sumber bacaan di perpustakaan kampus, saya diberkati dengan menemukan beberapa karya apologetika Katolik di toko buku bekas di daerah itu. Tapi satu-satunya sumber cetak terhebat saya peroleh dari obral buku perpustakaan kampus waktu semester pertama. Waktu itu tahun 2003, kampus memesan New Catholic Encyclopedia edisi kedua untuk buku referensi kampus. Ini artinya mareka akan menjual New Catholic Encyclopedia edisi pertama terbitan tahun 1967, semuanya ada sembilan belas jilid dengan harga $50. Sebagai seorang mahasiswa baru, saya tidak punya uang yang cukup untuk membelinya, tapi saya tahu kalau ini penawaran yang bagus. Jadi setelah memikirkannya, saya memberanikan diri untuk membeli buku itu. Empat tahun berikutnya, buku-buku itu berada di belakang meja di kamar asrama kampus saya. Setiap kali saya punya pertanyaan tentang ajaran-ajaran maupun tata cara Katolik, saya akan membuka salah satu buku dari rak itu dan mulai membacanya. Perbincangan dengan teman-teman kuliah saya menjadi bantuan besar yang kedua yang saya terima dalam bentuk menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Salah satu keuntungan belajar di perguruan tinggi Kristen non-denominasi adalah hampir semua orang menganggap iman Kristen sebagai sesuatu yang serius, tapi tidak semua orang sepakat dalam pertanyaan-pertanyaan teologi. Banyak teman-teman saya beberapa versi aliran Methodist United Methodist, Methodist Bebas, atau Methodist Evangelikal/Injili, tapi seorang teman paling dekat saya adalah seorang Presbiterian Evangelis/Injili, yang dibesarkan dalam tradisi Reformed atau John Calvin. Jadi kami sering mendiskusikan dan memperdebatkan perbedaan teologis Wesley dan Calvin. Satu perbincangan di kafetaria sudah cukup sebagai contoh umum. Seseorang yang bertanya tentang sifat-sifat Allah yang mana yang paling penting. Orang-orang aliran Wesley beralasan kalau kekudusan sebagai atribut ilahi yang mendasar, seorang teman Calvinis yang jelas-jelas kalah jumlah mempunyai alasan kuat bahwa kedaulatan sebagai sifat yang lebih mendasar daripada kekudusan. Saya masih ingat dengan peristiwa itu, saya berpikir bahwa perdebatan itu cukup seimbang, dan mungkin ada sesuatu yang lebih mendasar daripada kekudusan atau kedaulatan. Maka saya mencari “atribut ilahi” dalam New Catholic Encyclopedia, dan menemukan sesuatu yang lebih mendasar aseitas “dari diri-Nya sendiri”. Seperti yang dikatakan dalam Katekismus “Allah adalah kepenuhan keberadaan dan kesempurnaan, tanpa awal dan akhir. Sementara segala makhluk ciptaan menerima segala-galanya, keberadaan dan milik mereka dari Dia, hanya Ia sendiri merupakan Keberadaan-Nya dan memilikinya dari diri-Nya sendiri” Katekismus Gereja Katolik, 213. Jadi inilah yang membedakan Allah dari makhluk ciptaan-Nya, bukanlah kekudusan atau kedaulatan-Nya itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa kekudusan dan kedaulatan Allah dan semua atribut-Nya yang lain berasal dari diri-Nya sendiri, sedangkan kekudusan atau kedaulatan apa pun yang mungkin diperoleh manusia bukan berasal dari diri kita sendiri melainkan dari Allah. Perbedaan ini bukan hanya membantu saya melihat jawaban Katolik yang lebih dalam terhadap perdebatan Protestan mengenai sifat ilahi, tapi juga membantu saya untuk menyembah Allah dan menghormati orang-orang kudus. Allah sanggup membuat seseorang menjadi kudus dengan sempurna, dan orang itu tetap bukan Allah, karena perbedaan antara Allah dan makhluk ciptaan-Nya yang bukan satu derajat melainkan jenisnya kekudusan Allah dalah milik-Nya, dari diri-Nya sendiri; kekudusan yang kita peroleh adalah murni karena anugerah, karunia yang dianugerahkan dengan cuma-cuma dari Allah. Ketika kita menyembah Allah, kita menyembah-Nya karena siapa Ia yang ada dalam diri-Nya sendiri. Ketika kita menghormati orang-orang kudus, kita memuji atas apa yang Allah lakukan di dalam dan melalui mereka. Selama perbedaan itu dipertahankan, semakin kita memuji orang-orang kudus, maka kita semakin memuliakan Allah. Argumen mengenai atribut ini adalah salah satu dari banyak obrolan. Dari api penyucian hingga orang-orang kudus hingga memahami kehendak Allah, ada banyak pertanyaan yang didiskusikan dan diperdebatkan oleh saya dengan teman-teman saya. Berdebat dengan berbagai orang dari tradisi teologis yang berbeda membantu saya untuk lebih memahami tradisi saya sendiri, dan mendorong saya untuk melihat jawaban apa yang ditawarkan oleh Gereja Katolik. Profesor menjadi bantuan besar ketiga yang saya terima dalam menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Beberapa profesor yang ada di perguruan tinggi saya mempunyai apa yang saya sebut sebagai sikap kasihan terhadap Katolik. Mereka akan berkata, meskipun tidak dalam banyak perkataan, bahwa mereka secara keseluruhan setuju dengan Reformasi Protestan, atau tradisi Katolik yang satu ini. Masalahnya adalah beda profesor punya sikap kasihan yang berbeda. Maka, satu per satu, saya mulai menyusun potongan-potongan itu. Setiap kali bahasan mengenai Gereja Katolik muncul dalam perkuliahan, saya memikirkan dan mengaitkannya dengan pertanyaan menjadi Katolik. Di kelas bahasa Prancis, saya dihadapkan dengan budaya Katolik yang kuat, dengan perayaan hari-hari peringatan orang-orang kudus. Dalam kursus tentang filsafat kuno dan abad pertengahan, saya lebih banyak lagi membaca karya-karya Agustinus, Anselmus, dan Aquinas. Melalui ansambel musik, saya diperkenalkan dengan nyanyian Gregorian, polifoni Renaisans, dan berbagai lagu untuk Misa. Salah satu profesor bahasa Inggris saya adalah seorang sarjana Chesterton, saya dan beliau pernah melakukan obrolan bermanfaat di kantornya. Mungkin sikap kasihan terhadap Katolik yang paling berpengaruh berasal dari kelas sejarah mengenai Peradaban Barat. Profesor itu berusaha menyajikan gambaran yang adil dan seimbang mengenai Kekristenan Katolik menjelang Reformasi Protestan. Ia menyajikan perihal inti dengan mengatakan bahwa tidak semuanya hal itu buruk. Memang ada tindakan korupsi dalam hierarki, tapi Katolikisme abad pertengahan dan Renaisans juga menjadi saksi pertumbuhan dan pembaruan dinamis melalui ordo-ordo keagamaan baru seperti Dominikan dan Fransiskan, kerja keras dan doa komunitas monastik tradisional, pendirian universitas, dan perlindungan terhadap karya seni. Profesor itu menyajikan gambaran yang kompleks dan bernuansa Katolik pra-Reformasi. Kemudian ia meminta kami untuk membaca cerita pilihan dari Decameron karya Boccaccio. Satu kisah secara khusus membahas masalah korupsi dalam hierarki Gereja, dan mengubah argumen khas Protestan yang ada dalam pikirannya. Dalam kisah itu, ada seorang Yahudi dari Paris bernama Abraham yang membuat teman Katoliknya terkejut karena memutuskan untuk pindah agama, bahkan setelah mengunjungi Roma dan menyaksikan secara langsung tindakan korupsi dalam hierarki Gereja. Dari apa yang ia lihat, ia menjelaskan bahwa paus dan para kardinal di Roma seolah-olah sedang melakukan yang terbaik untuk menghancurkan agama Kristen. Namun, karena hal ini tidak terjadi, malahan Kekristenan tumbuh dan berkembang, ia menjadi yakin bahwa agama Kristen sudah benar-benar dibimbing dan dilindungi Roh Kudus. Dalam kisah ini dan juga dari gambaran kompleks Katolik pra-Reformasi yang disajikan oleh profesor sejarah saya, saya mulai melihat bahwa dosa-dosa para pemimpinnya justru membuat klaim Gereja Katolik semakin sulit ditolak. Jika Gereja Katolik hanyalah sebuah institusi manusia, bagaimana dia bisa bertahan – dan berkembang – dengan para pemimpin manusia yang lemah dan tidak sempurna? Semua gagasan dan pengalaman inilah yang mendorong saya untuk bertindak. Saya sudah membaca berbagai buku, melakukan perdebatan, dan menghadapi sikap kasihan terhadap Katolik dalam diri profesor saya. Sekarang saya perlu sesuatu mengenai hal itu. Sejauh ini semuanya masih dalam ranah pemikiran. Saya membutuhkan pengalaman praktis. Jadi pada tanggal 9 Januari 2005, pada Pesta Pembaptisan Tuhan, saya melakukan kunjungan perdana ke gereja Katolik untuk ikut Misa hari Minggu. Saya mencari paroki yang paling dekat dengan kampus saya dan menemukan jalan menuju St. Luke Catholic Church di Nicholasville, Kentucky. Saya terkejut dengan betapa wajarnya Misa itu. Saya tidak yakin dengan apa yang saya harapkan, tapi bukti iman dari umat begitu jelas menghilangkan pemikiran saya bahwa Katolikisme itu hanyalah “tradisi mati” atau sekelompok orang “yang melakukan macam-macam gerakan.” Kelihatannya Misa tidak begitu berbeda dengan kebaktian persekutuan Methodist di tempat saya dibesarkan. Anehnya Misa terasa akrab. Meskipun waktu itu saya tidak berkata demikian, dengan melihat kembali ke belakang saya mengatakan bahwa peristiwa itu seperti pulang ke rumah untuk pertama kalinya. Pada waktu ini dalam perjalanan hidup saya, saya sudah melampaui sikap adil terhadap Gereja Katolik. Sekarang saya semakin menyukainya, menemukan bahwa Gereja Katolik itu benar, bukan hanya sesekali, tetapi dengan konstan. Bahkan, melalui Gereja Katolik membuktikan sumber kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa diandalkan. Saya sedang dalam perjalanan menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Pernyataannya sekarang menjadi sesuatu yang mendesak, dan jawaban saya sudah dekat. Mencoba Melarikan Diri dari Gereja Katolik Pada musim gugur pertama sewaktu saya kuliah, saya mulai menghadiri kelas RCIA di St. Luke Catholic Church dan mulai ikut Misa setiap hari Minggu di bulan Oktober itu. Saya juga memutuskan untuk bergabung dengan paduan suara paroki. Kedengarannya tidak seperti orang yang berusaha melarikan diri dari Katolikisme, tapi itulah upaya untuk membenamkan diri dalam kehidupan Gereja Katolik untuk melihat apakah pengalaman pribadi akan menegaskan pembelajaran pribadi saya. Saya sedang menguji semua bacaan dan argumentasi saya. Apakah Gereja Katolik benar-benar seperti yang dikatakan Chesterton? Apakah pengalaman saya di sebuah paroki Katolik yang nyata sesuai dengan yang saya baca dalam karya Agustinus, Anselmus, Aquinas, dan berbagai buku apologetika Katolik? Apakah dengan melihat Gereja Katolik dari dalam itu seperti yang terlihat dari luar? Di satu sisi, saya menginginkan gambaran saya tentang Katolikisme bisa terbukti salah. Akan lebih mudah dengan menjaga jarak dengan Gereja Katolik, hanya dengan mengagumi dan menghormatinya dengan tetap menjadi orang Methodist. Saya benar-benar tidak menunggu percakapan yang akan saya lakukan dengan keluarga dan teman jika saya menjadi Katolik. Tapi dengan saya terpapar dengan rutin dengan ibadat dan persekutuan Katolik di tempat saya itu tidak mengubah atau bertentangan dengan tahun-tahun pembelajaran dan doa. Dalam upaya saya untuk menemukan jalan keluar dengan cara bergabung dengan Gereja Katolik, saya mulai bertanya kepada beberapa mentor rohani yang bisa dipercaya, “Mengapa saya tidak menjadi Katolik?” Saya mengharapkan alasan mereka itu cukup buat saya. Tapi nyatanya tidak. Saya menemukan alasan-alasan mereka itu mengagumkan, tapi tidak berlaku buat saya. Bahkan saya mengalami ada seorang profesor yang dengan hangat memberi saya selamat atas keputusan saya yang akan datang, dan saya mengakui bahwa ia sering berharap punya kesempatan belajar lebih banyak tentang Gereja Katolik. Langkah Terakhir yang Tak Terduga Seperti yang dikatakan Chesterton, “Catatan tentang tahapan perubahan keyakinan ini tentu sangat negatif dan tidak memadai. Ada detik terakhir atau batas setipis rambut, sebelum besi melompat menuju magnet, jurang yang penuh dengan segala kekuatan alam semesta yang tidak terduga. Jarak antara melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu itu seperti sesuatu sangat kecil dan sangat luas” The Catholic Church and Conversion, Ignatius Press, 2006, hlm. 83. Cerita saya sejauh ini agak sepintas dan terlalu dini. Hal ini disengaja, bahkan pada malam pengukuhan saya sebagai Katolik, saya tidak bisa mengartikulasikan sepenuhnya gagasan, kesan, dan pengalaman yang masuk dalam keputusan saya untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Itulah sesuatu yang sangat pribadi, saya berulang kali gagal dalam usaha menjelaskannya kepada keluarga dan teman. Ada seribu alasan kecil yang semuanya mengarah pada keyakinan bahwa Gereja Katolik itu benar, ajarannya benar, dan untuk semua bagian manusiawinya itu benar-benar dibimbing dan diarahkan oleh Roh Kudus. Ada juga seluruh proses pertubuhan kesadaran ini dibimbing oleh kuasa ilahi menuju kesimpulan ini. Saya sudah dibesarkan oleh kedua orang tua saya, dan didorong oleh pengajaran bawaan sebagai seorang Methodist, untuk mencari tangan Tuhan yang bekerja dalam hidup saya, dan untuk mengikuti-Nya dengan percaya dan penuh keyakinan. Sekarang saya mampu melihat cukup banyak bentuk kehidupan saya di masa lalu untuk mengetahui keputusan apa yang harus saya perbuat pada masa ini, bahkan jika saya tidak bisa memprediksi hasil yang terjadi di masa depan. Pada Malam Paskah 2006, sebagai seorang junior di perguruan tinggi, saya diteguhkan dan diterima dalam Gereja Katolik. Pertumbuhan dalam Gereja Katolik di Kemudian Hari Beberapa keluarga dan teman saya takut bahwa dengan bergabung dengan Gereja Katolik saya akan memasuki tempat dingin dan gelap dalam artian rohani. Saya sudah menemukan hal yang sebaliknya penuh cahaya dan kehangatan yang menyilaukan. Saya beruntung sudah mengenal beberapa bapa pengakuan yang baik, pembimbing rohani yang bijaksana,dan pembawa homily yang dinamis. Secara rutin saya menemukan Kitab Suci terbuka bagi saya dengan cara yang baru dan menarik. Saya sudah menjali persahabatan dengan banyak teman Katolik dan menemukan di Gereja Katolik tentang teladan iman, harapan, dan kasih yang memberikan inspirasi. Saya sudah bertumbuh dalam iman Katolik saya dan sudah menemukan semangat dan kelembutan devosi Katolik. Saya dipelihara dalam Sabda dan Sakramen. Allah sudah sangat baik terhadap saya. Hati saya penuh. Setelah lulus dari perguruan tinggi dengan gelar Bahasa Klasik, saya diterima di sekolah pascasarjana di Catholic University of America, tempat saya menerima gelar master dan doktorat dalam bahasa Yunani dan Latin. Selama saya di CUA, saya semakin dipupuk dalam iman Katolik saya melalui Misa harian dan sering mengaku dosa di Basilica of the National Shrine of the Immaculate Conception dan doa malam di Dominican House of Studies. Saya juga terlibat dalam schola paduan suara nyanyian Gregorian dan kelompok dewasa muda di paroki saya di Maryland. Saya tidak pernah menyesali keputusan saya atau meragukan keyakinan saya bahwa Gereja Katolik itu seperti yang dia nyatakan. Faktanya, setelah 14 tahun dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, dan beribadah dalam lebih dari Misa di tujuh negara berbeda, dalam tujuh bahasa yang berbeda, saya merasa lebih yakin sebelumnya bahwa saya sudah mengambil keputusan yang tepat, dan saya berada di tempat yang Allah kehendaki bagi saya. Saya berada di rumah. B. A. Lewis memasuki Gereja Katolik pada Malam Paskah 2006 dan melanjutkan studi untuk meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Klasik dari Asbury College dan gelar master dan doktor dalam bidang bahasa Yunani dan Latin dari Catholic University of America. Ia dan istrinya pernah tinggal selama tiga tahun di Athena, Yunani, dan sekarang tinggal bersama tiga anaknya di dekat Washington, DC, di mana Dr. Lewis bekerja sebagai Direktur Pelayanan Penerjemahan untuk International Commission on English in the Liturgy ICEL. Sumber “Why and How I Became Catholic” – Nama saya Natalia Ais Walinono, biasa dipanggil Natalia atau Talia. Ayah saya asal dari Pulau Timor NTT dan ibu dari Mojokerto, Jawa Timur. Saya lahir di Mojokerto pada 29 Desember 2003. Saya dua bersaudara, semuanya perempuan. Kakak saya saat ini kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Sekolahnya Bung Karno Sebelumnya saya menjalani pendidikan di SMPN 2 Kota Mojokerto. Banyak kenangan yang tak bisa dilupakan. Ada beragam kesan indah yang tak mudah ditanggalkan selama tiga tahun belajar di sekolah yang berada di Jalan Ahmad Yani Mojokerto itu. SMP Negeri 2 Mojokerto adalah sekolah yang memiliki nilai sejarah. Sekolah yang dibangun oleh Belanda ini merupakan tempat belajar Presiden Soekarno. Ketika itu, Bung Karno pernah tinggal selama 9 tahun di Kota Mojokerto. SMPN 2 kala itu merupakan sekolah Eropa di Mojokerto. Sekolah ini memang dikhususkan untuk menampung siswa Belanda. Kalaupun ada warga pribumi, itu hanya diperuntukkan bagi keturunan priyayi. Natalia bersama teman-teman sekelasnya di SMAN 2 Kota Mojokerto/Foto istimewa Sekolah dengan Sistem SKS Setelah lulus SMP saya meneruskan pendidikan di SMAN 2 Kota Mojokerto. Ada empat alasan aku memutuskan memilih sekolah ini. Pertama, di Kota Mojokerto, sekolah ini dikenal lebih unggul dari pada sekolah lainnya. Kedua, sekolah ini merupakan adiwiyata mandiri yang pasti akan memberi kesan baru, karena dari mulai TK hingga SMP saya tidak pernah sekolah di sekolah adiwiyata. Ketiga, sekolahnya bersih dan luas. Keempat, sekolah ini menggunakan sistem SKS yang berbeda dari sistem pendidikan di SMA lain di Mojokerto. Awalnya saya ragu memilih SMA ini karena menurut pendapat teman-teman, sistem SKS itu sangat berat. Bukan hanya dituntut untuk bisa menguasai materi tapi kita juga harus belajar semua materi secara mandiri. Kendati berat saya justru bersemangat ingin bersekolah di SMAN 2 agar di perguruan tinggi nanti saya lebih siap dan matang jika dibandingkan dari siswa lainnya. Setelah menjalani serangkaian ujian di tingkat SMP, akhirnya saya memperoleh nilai yang memuaskan dan sesuai dengan harapan. Bermodal nilai itu, saya bisa lolos dan diterima di SMA 2. Natalia/Foto istimewa Kesan pertama, saya merasa sangat senang karena sesuai dengan ekspektasi sebelumnya. Hal yang berbeda yang dijumpai di sekolah ini adalah areanya sangat luas dan memiliki banyak pepohonan. Pohon yang ada di sekeliling sekolah memiliki sejumlah manfaat, misalnya membuat udara jadi lebih segar, penyaring udara di bumi, mengurangi paparan sinar ultraviolet pada kulit, mengurangi dampak perubahan iklim, mencegah polusi air, menambah cadangan air tanah, mencegah banjir dan masih banyak lagi. Di sekolah ini saya memiliki teman baru yang baik dan mudah diajak berdiskusi. Saya juga berjumpa dengan bapak, ibu guru yang ramah. Pengalaman kebaikan itulah yang mampu meringankan beban SKS yang semula terasa sangat berat. Kini menjadi enteng karena saya bisa menyelesaikan tuntutan akademis sesuai target. Kata orang saat SMA adalah masa-masa yang paling indah. Kita akan menjalani hal baru dengan teman-teman yang beranjak dewasa. Kita juga memulai menentukan masa depan kita. Akan jadi apa kita ke depan? Saya berharap di SMA 2 ini saya bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik demi masa depan saya. Selama dua tahun berada di SMA Negeri 2, banyak suka duka yang kualami. Memang, lebih banyak kisah menyenangkan dibandingkan dengan cerita-cerita pilu. Beberapa pengalaman yang membuat hatiku senang adalah pertama kali mengikuti Olimpiade Geografi. Ini merupakan impian sejak SMP. Pengalaman kedua, menjadi supporter saat mendukung tim basket sekolah berlaga di DBL arena di Surabaya. DBL Arena merupakan stadion bola basket yang bisa menampung penonton. Pengalaman menarik lainnya ketika dipercaya menjadi petugas upacara. Ketika menjadi petugas upacara, saya bisa lebih disiplin, berpakaian lebih rapi, mampu menjaga kekompakan dengan teman, menumbuhkan semangat kebangsaan. Doa Bersama Lover’s Ada satu kegiatan wajib dan rutin setiap pagi kami lakukan sebelum memulai kegiatan belajar di kelas, yaitu Dzikir Bersama Lovers DBL. Saya sebagai penganut Agama Katolik lebih dikenal dengan Doa Bersama Lover’s. Bagi teman-teman yang beragama Islam kegiatan DBL dilaksakan di lapangan upacara, sementara bagi yang Kristen Katolik dan Kristen Protestan maupun agama lain, kegiatan doa bersama di lapangan basket. Aktivitas pagi bersama ini diawali dengan rumusan doa pagi. Setelah itu doa ketika memulai pelajaran, dan doa pilihan seperti mendoakan orang tua, doa untuk orang sakit, doa untuk guru, dan lain-lain. Setelah doa dilanjutkan dengan mendengarkan bacaan Injil sesuai kalender liturgi serta renungan singkat oleh Pembina atau sharing Kitab Suci di antara peserta didik. Kegiatan tersebut merupakan aktivitas baru bagi saya. Ada beberapa pengalaman berharga yang saya jadikan cambuk untuk kebaikan di masa depan, seperti kalah dalam lomba dan dimarahi guru karena melakukan kesalahan. Sisi positif dari pengalaman dimarahi adalah saya mendapat kesempatan untuk melatih mental agar kuat menghadapi kehidupan. Bagi saya mental yang kuat adalah kunci untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Ekstra Kurikuler Saya juga terlibat dalam kegiatan organisasi siswa di SMA 2 yaitu ekstrakurikuler I-choir, Hypnopreneur, dan menjadi tim olimpiade Geografi. Saya memilih ekstrakulikuler I-choir karena dorongan untuk mengasah kemampuan bernyanyi. Kebetulan saya suka bernyanyi. Melalui kegiatan ekstrakurikuler tersebut saya bisa mengenal banyak teman dari kelas dan tingkatan yang berbeda. Di ekstrakurikuler Hypnopreneur, saya dibimbing untuk berbisnis bahkan ada tuntutan lebih dari ekstrakurikuler tersebut bahwa siswa sebisa mungkin mampu berbisnis walaupun masih bersekolah. Cita-cita sederhana saya mengikuti ekstra Hypnopreneur adalah menjadi seorang pengusaha. Sebagai perempuan saya ingin bisa menghasilkan uang tanpa harus membagi waktu saya dengan keluarga. Saya juga memperoleh banyak hal baru dari tim olimpiade Geografi SMANDA. Setiap hari bisa belajar geografi bersama bu Eni dan teman-teman. Ketika belajar Geografi saya bisa mengetahui lokasi-lokasi di permukaan bumi, bisa membaca kehidupan di masa depan, meningkatkan kepedulian terhadap bumi dan isinya serta menyadarkan saya akan kebesaran kuasa Allah. Ini merupakan potensiku yang harus dimaksimalkan. Enam bulan duduk di bangku kelas XI saya merasakan ada hal yang berbeda. Di kelas XI saya harus bisa menemukan jati diri sementara di kelas X lebih banyak waktu untuk proses penyesuaian. Di kelas XI saya dituntut menyiapkan diri lebih serius agar lebih mudah langkah saya selanjutnya ke tingkat yang lebih tinggi, di kelas XII. Ekspresi Iman Sebagai siswa Kristen Katolik yang sedang menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto, sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan iman atau kepercayaan saya. Kebaikan sering saya peroleh dari teman yang berbeda keyakinan. Bahkan mereka toleransinya sangat tinggi. Walau banyak perbedaan, saya tetap memiliki rasa percaya diri misalnya membuat tanda Salib saat berdoa. Salah satu media yang bisa meningkatkan dan memperdalam serta meningkatkan iman saya adalah doa pagi bersama di lapangan basket setiap pagi. Jika ada yang tidak bersikap toleran, jumlahnya tidak banyak. Walau demikian, saya tetap berpikir positif dan kebaikan selalu berada dalam diri teman-teman saya.*** Mojokerto, 25 Oktober 2020 Natalia Ais Walinono, Siswi SMA Negeri 2, Mojokerto adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia. – Nama saya Patricius Yoga Advenda. Saya beragama Katolik. Lahir di Mojokerto, 12 Desember 2003. Saya anak kedua dari empat bersaudara. Saya akan berbagi kisah bagaimana menjadi siswa Katolik yang sejak kecil sekolah di lembaga Katolik kemudian sekarang di sekolah Negeri yang mayoritas teman-teman agamanya berbeda dengan saya. Pertama, saya bersyukur kepada Tuhan Yesus karena saya bisa diterima di SMAN 2 Mojokerto. Walaupun sekarang ada sistem zonasi, tidak semua orang dengan mudah bisa masuk di SMAN 2 Mojokerto. Bagi warga Mojokerto, SMAN 2 merupakan sekolah favorit. Sekolah ini memiliki fasilitas lengkap, berkualitas, sehingga banyak pelajar bersaing untuk masuk. Para siswa dan orangtua siswa memburu sekolah favorit sehingga anak-anak berprestasi dan orangtuanya mampu berkumpul di lembaga ini. Banyak prestasi yang telah ditoreh oleh sekolah ini, terakhir menjadi Juara 3 lomba perpustakaan tingkat nasional. Sekolah ini merupakan SMA Negeri bertaraf internasional yang biasa disebut Bumi Wiyata Setya Bhakti Buwitashakti dan Innovative School of SMANDA Inscada. Saya memilih sekolah di SMA Negeri 2 Mojokerto karena dua alasan. Pertama, saya ingin memiliki pengalaman dan pandangan yang lebih luas. Kedua, saya ingin memiliki akses yang lebih mudah untuk masuk di universitas negeri mengingat status yang disandang adalah A. Mengenyam pendidikan di sekolah negeri merupakan sesuatu baru bagi saya. Selama ini kami empat bersaudara sejak TK hingga SMP di sekolah Katolik. Pada waktu di sekolah swasta Katolik iman saya bertumbuh tanpa halangan atau rintangan yang berat. Saat ini saya sering ditanya tentang iman yang dianut dan terkadang disindir oleh segelintir teman yang belum memahami arti sebuah keyakinan. Inilah perbedaan antara sekolah Katolik dan negeri. Malu dan Canggung Penulis bersama teman-teman sekelasnya di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto/Foto Istimewa Ada satu pengalaman yang masih tersimpan dengan baik dalam ingatanku. Ketika itu, hari Senin minggu ketiga Juni 2019, saat pertama kali masuk sekolah atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah MPLS, bersama sahabat seangkatan kami dikukuhkan menjadi siswa SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Dua perasaan yang sangat menghantui saat itu adalah malu dan canggung. Dampak dari perasaan tersebut membuat saya sepertinya sulit berkomunikasi dengan teman-teman yang berasal dari berbagai SMP. Setelah pembagian kelas, perasaan malu, canggung dan sulit berkomunikasi masih melekat pada saya dan itu yang membuat saya merasa tertinggal soal pelajaran. Kesulitan beradaptasi ketika pertama kali menginjakkan kaki di SMA Negeri 2 adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Belajar di awal masa SMA memang berbeda dengan masa SMP. Makin tinggi tingkatan makin sulit dan harus lebih mandiri. Ternyata di awal masuk SMA saya masih belum siap dan merasa kelelahan karena tugas yang makin banyak. Tetapi saya berpikir bahwa menjalankan tuntutan ini tidak sendirian, teman-temanku juga merasakan hal yang sama. Jadi saya harus semangat. Bersama teman-teman sekelas kami saling menyemangati dan saling membantu. Menjadi Garam dan Terang Di kelas terdapat aneka ragam agama. Saya beruntung masuk kelas yang memiliki aneka ragam agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Hindu. Kami saling menghormati dan menjaga hubungan baik antaragama di kelas. Karena begitu dekatnya hubungan kami, kadang kami ungkapkan dalam bentuk candaan. Apabila candaan berlebihan terkadang saya merasa sakit hati. Jika merasa tersinggung dua sikap yang saya tunjukkan kepada teman-teman adalah menyimpan semua persoalan itu di dalam hati dan memberi teguran agar tidak mengulangi lagi hal yang membuatku sakit hati. Saya beruntung memiliki guru agama yang bisa tiap hari bisa ditemui. Tidak semua sekolah negeri di Mojokerto memiliki guru agama Katolik. Setiap pagi saat doa pagi bersama pukul dan saat pelajaran, Pak John Lobo, guru agama saya selalu mengingatkan anak didiknya agar kita menjadi terang dan garam di tengah-tengah masyarakat terutama di lingkungan sekolah melalui kata-kata, sikap dan cara hidup yang baik. Kami selalu diberi motivasi seperti itu agar tidak menjadi anak yang minder dan pemalu, walaupun kita minoritas. Dengan talenta yang diberikan Tuhan, kita bisa melakukan hal lebih dan luar biasa di sekolah. Bakat dan potensi apa yang kamu miliki harus dikembangkan. Itu adalah bukti bahwa kamu mencintai talenta dari Tuhan. Itu pesan beliau yang saya ingat. Selain itu kami juga diberi motivasi agar senantiasa menjadi pelayan seperti Yesus, selalu rendah hati dan sabar, serta jika diberi kepercayaan lakukanlah itu sebagai pemberian terbaik bagi sekolah tercinta. Patricius Yoga Advenda/Foto Istimewa Perbedaan Agama Seperti Paduan Suara Sejak SMP hingga di SMA saya memilih untuk mengikuti ekstrakurikuler paduan suara. Melalui paduan suara saya diberi ruang untuk mengembangkan bakat serta kemampuan dalam bidang tarik suara. Selama bergabung dalam kelompok paduan suara, saya mencoba membiasakan diri untuk jadi pelayan. Bentuk pelayanan yang dilakukan adalah membantu teman-teman dan adik kelas dalam bernyanyi. Ada pesan yang saya peroleh selama mengikuti paduan suara jika dihubungkan dengan perbedaan agama yang ada di sekolahku. Perbedaan suara dalam sebuah paduan suara sangat indah kalau semua jenis suara baik sopran, alot, teno, dan bas berbunyi. Demikian juga dengan perbedaan agama yang kami miliki. Sungguh menjadi kekuatan besar jika setiap perbedaan dilihat dari sisi positif untuk membangun kekuatan bersama untuk meningkatkan prestasi sekolah. Tidak Perlu Khawatir Selain itu saya juga menjadi perangkat atau pengurus kelas. Bila berhadapan dengan tantangan dalam tugas pelayanan, saya senantiasa berpikir positif sehingga semuanya berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan harapan bersama. Hingga saat ini saya memiliki kekuatan untuk mengatasi segala kekhawatiran dari Injil Matius 625-34. Tuhan Yesus berpesan kepada saya agar tidak perlu khawatir dengan apa yang sedang saya jalani saat ini. Kekhawatiran tidak akan menghasilkan apa-apa. Saya yakin pasti Tuhan selalu mendampingi hidupku. Meskipun Katolik itu kelompok minoritas di negeri ini terutama di sekolah tempat saya belajar mengais ilmu, saya tetap memiliki semangat untuk memberikan diri melalui potensi yang dimiliki untuk kemajuan SMA Negeri 2 tercinta. Semoga tenunan kisah saya ini bisa menginspirasi teman-teman yang sedang menuntut ilmu di jenjang pendidikan yang sama. Jika ada goresan kalimat sebagai luapan hati ada yang kurang berkenan dihati, saya sampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Tuhan memberkati. Mojokerto, 31 Oktober 2020 Patricius Yoga Advenda adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

kisah pengalaman iman katolik